Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Anak Takut Pada Ayahnya, Kenapa?

 asalkan kedua orang bau tanah tetap kompak dalam menerapkan nilai Anak Takut Pada Ayahnya, Kenapa?

Tak perlu khawatir, asalkan kedua orang bau tanah tetap kompak dalam menerapkan nilainilai dan disiplin pada anak.
"Walau saya sudah ngomelngomel untuk melarangnya, beliau tetap saja melakukannya, seolah tak memperhatikan dan tak dengar. Lain hal kalau ayahnya yang melarang, baru, deh, didengar. Bahkan hingga menangis segala," ungkap seorang ibu wacana putrinya yang berusia 2 tahun dan tak pernah "takut" padanya.

Pengalaman ini rasanya tak ajaib bagi kaum ibu yang punya anak batita, bukan? Walau kita murka habishabisan, tapi, kok, anak ademayem saja alias tak ada takutnya. Lain hal jikalau sama ayahnya, gres diperingati sedikit saja atau gres sekali saja diperingati, anak bisa pribadi diam, kadang menekukkan wajahnya alasannya takut.

Memang, berdasarkan Dra. Risa Kolopaking dari Fakultas Psikologi UI, umumnya anak takut pada ayah. "Seharusnya, sih, anak tidak takut pada kedua orang tuanya, ataupun pada salah satu orang tuanya, alasannya takut ini seram buat anak." Selain itu, jikalau anak takut pada salah satu orang tua, maka alhasil anak pun hanya bisa bersahabat pada salah satu orang bau tanah saja, entah ayah atau ibunya saja.

Anak juga tak mendapat kesempatan yang sama atau seimbang untuk mencar ilmu dari jenis kelamin yang berbeda. "Memang anak juga bisa mencar ilmu tugas dari orang di luar rumah, tapi alangkah baiknya kalau kesempatan itu datangnya dari dalam rumah, yaitu dari orang tuanya sendiri." Karena bagaimanapun, bila orang bau tanah punya tugas yang seimbang, anak akan lebih banyak mencar ilmu dalam kehidupannya. Anak sanggup menyebarkan kemampuan sosialisasi yang baik dalam kehidupan bermasyarakatnya kelak, contohnya dalam korelasi sosial dengan lawan jenis.

POLA ASUH ORANG TUA
Anak yang takut pada orang tua, terang Risa, adakalanya dalam situasi tertentu saja, misal kalau orang tuanya marah. "Tapi kalau dalam kondisi biasa saja, ratarata anak tidak takut." Takutnya bisa alasannya bunyi si orang bau tanah yang sedang murka memang keras, pun kala melarangnya, "Awas, tidak boleh!" Sebab, bunyi keras akan menciptakan anak kaget, ciut perasaannya, dan akhirnya takut, meski mungkin saja bergotong-royong beliau pun tak terpikir akan diapaapakan.

Maka itu, kalau orang bau tanah hendak melarang sesuatu pada anak, saran Risa, tak perlu dengan bunyi keras dan marahmarah. "Bisa gunakan dengan kelembutan dan dengan tetap memberinya penjelasan, 'Jangan main air, ya, De. Kamu, kan, sudah mandi, nanti bajunya berair lagi', misal."
Selain itu, takutnya anak pada salah satu orang bau tanah juga bisa alasannya rujukan pengasuhan dari orang bau tanah itu sendiri. Bisa saja orang tuanya bersikap diktatorial dalam menerapkan hukum dan disiplin, sehingga anak takut pada keduanya atau pada salah satunya. "Umumnya, anak takut pada tipe orang bau tanah yang bersikap otoriter. Orang bau tanah bersikap sangat berkuasa, kehendaknya harus dituruti tanpa memahami impian dan kebutuhan si anak, hal ini kadang menciptakan ciut anak."

Sebetulnya, papar Risa, orang bau tanah tak perlu bersikap diktatorial dalam hal menerapkan disiplin atau aturan. Tapi sebaiknya lebih pada pendekatan terhadap si anak. "Sebab, setiap anak berbeda, sehingga menghadapinya juga harus berbeda pula. Ada yang harus dihadapi dengan lembut dan ada yang harus dengan sedikit keras. Tapi pada intinya, anak itu kalau sudah diberi penjelasan, mana yang boleh dan tidak, dan diberitahu alasannya, mereka pun akan mencar ilmu sesuatu dan mengerti, kok."
Memang, kadang ada anak yang mengerti seketika itu juga akan apa yang kita harapkan untuk dikerjakan, tapi ada pula yang mengerti dan hanya sekadar masuk telinganya dan jadi pengetahuannya saja, tapi tidak beliau lakukan ketika itu. "Jadi, kalau dikatakan tak boleh, beliau tetap saja melaksanakan hal itu.

Sebenarnya, untuk problem kontrol ini, papar Risa, bisa kita berlakukan reward dan punishment. "Bila anak melaksanakan menyerupai yang kita harapkan, kita beri beliau hadiah berupa kebanggaan atau dukungan." Sebaliknya, bila ia tak melaksanakan apa yang kita harapkan, terapkan punishment. Hanya saja, jangan berupa eksekusi fisik, tapi lebih ke arah mengurangi kesenangannya.

PERAN JENIS KELAMIN ORANG TUA
Peran jenis kelamin orang bau tanah juga sangat kuat pada rasa takut anak. Ayah umumnya bersikap tegas dibanding ibu yang biasanya bisa lebih longgar. Walaupun mungkin ibu lebih banyak melarang dibanding ayah, misal dalam hal disiplin, tapi kalau ayahnya yang melarang sesuatu, alasannya selalu sempurna dan jelas, sehingga anak tahu kalau yang beliau perbuat itu salah. Dengan demikian, begitu ayahnya memberitahunya, melarangnya, hal itu masuk ke dalam hatinya. Ia jadi takut kalau salah.
Kalau pada ibu, alasannya anak merasa dekat, maka ia pun bisa lebih bernegosiasi. Harus diingat pula bahwa pada tahaptahap tertentu, kedekatan anak terhadap ibu masih sangat besar, walau tugas ayah juga penting, tapi mungkin tidak utama. Jadi, kalau dimarahi atau dinasehati ibu, beliau pun seolah tidak mendengar. Bahkan bisa jadi beliau malah mengatakan, "Sebentar lagi, ya, Bunda," atau kalimat merayu lainnya. "Itu, kan, menerangkan ia melakukan bargaining." Juga, anak berani untuk mengungkapkan sesuatu. "Sebenarnya ibu pun bisa memakai ini sebagai senjata untuk membuka komunikasi dengan anak, misal, 'Iya, boleh, tapi sebentar saja, ya, main airnya. Ibu beri waktu 5 menit lagi.'"
Hubungan antara orang bau tanah dan anak pun ada pengaruhnya pada rasa takut anak. Misal, pada anak perempuan, ada sisisisi tertentu dari ayah yang bisa membuatnya merasa nyaman dan senang. Mungkin dalam hal bermain. Kadang ibu banyak urusan rumah tangga sehingga kesempatan bermain dengan anak lebih sedikit, sementara ayah mungkin urusan rumahnya tidak sebanyak ibu sehingga kesempatan bermain bersama anak lebih banyak. Ada halhal yang menyenangkan bagi anak dari ayahnya. "Bisa saja anak takut salah atau takut tidak disayang oleh ayahnya lagi ketika si ayah yang disenanginya itu melarangnya."

Bukan itu saja, terang Risa, setiap orang bau tanah pun berbedabeda. Ada orang bau tanah yang tak bahagia dengan anak kecil, tak sabaran dan merasa kesal kalau anaknya bermain dan menumpahkan sesuatu, tapi ada juga yang sebaliknya, penuh kesabaran. "Nah, sifatsifat orang bau tanah juga kuat pada anak." Jadi, kalau ayahnya melarang, beliau akan mendengar alasannya ayahnya selalu sabar menjelaskannya. "Jangan main air dulu, ya, tapi makan dulu. Biar kau tak kedinginan dan sakit perut," misalnya. Sehingga anak paham betul bahwa main air tak boleh alasannya apa. Lain hal dengan ibunya yang tak sabaran, belum apaapa sudah teriakteriak, tanpa menjelaskan penyebab tak bolehnya, juga tidak memahami maksud si anak, sehingga anak pun menentang duluan. Dia akan berpikir, "Pasti, nih, apa yang saya buat selalu tidak boleh, tidak boleh terus." Sehingga larangan atau omelan si ibu pun akhirnya hanya masuk indera pendengaran kiri dan keluar indera pendengaran kanan.

Sebenarnya, papar Risa, ada baiknya juga ayahlah yang ditakuti anak. Justru harus hatihati bila yang ditakuti yakni ibunya. "Karena kalau ia takut pada ibu, maka ada kemungkinan ia tak bersahabat dengan ibunya. Padahal seharusnya anak pada masa batita itu lebih bersahabat dengan orang bau tanah perempuan. Masamasa batita dan balita, bergotong-royong tugas ibu masih lebih kuat dan dibutuhkan. Kalau hingga ibunya ditakuti, biasanya akan ada kehilangan sesuatu dalam perkembangan kejiwaannya."

AYAH DAN IBU HARUS KOMPAK
Yang jelas, jikalau salah satu orang bau tanah merasa kesulitan alasannya anaknya tak bisa diberitahu, misalnya, saran Risa, orang bau tanah perlu introspeksi diri apa yang menjadikan si anak hanya takut pada salah satu orang tuanya saja.
Sebaiknya pula, kedua orang bau tanah jangan saling membandingkan. "Memang terkadang ada kebanggaan tersendiri pada diri orang tua, misal ayahnya, kalau anak lebih mendengar dirinya. Nah, hal menyerupai itu sebaiknya jangan diperlihatkan di depan anak. Biarkan anak tahu bahwa antara ayah dan ibu setara. Mereka punya kesamaan hal untuk melarangnya." Walaupun demikian, pesan Risa, orang bau tanah juga jangan asal melarang anak. Melainkan harus menjelaskan, apa, sih, yang menyebabkannya tidak boleh? Jadi, pelarangan itu ada keterangannya sehingga si anak pun paham.
Jika si ibu menciptakan keputusan, sebaiknya ayah membantu si ibu. Ketika si ibu melarang sesuatu atau murka pada anak, "Kamu tak boleh itu!", maka ayah pun harus mendukung si ibu, "Sudahlah, De, kan kata Ibu juga tidak boleh." Kaprikornus anak pun tahu kalau baik ayah maupun ibunya tak suka.

Boleh juga daripada capekcapek, kemudian si ibu menyerahkan pada ayahnya, misal, "Nih, Yah, anaknya susah diberitahu." Hal ini bolehboleh saja selama ayah dan ibu kompak dalam menerapkan suatu disiplin. Jadi, ibu ada komunikasi dengan ayah untuk mendisiplinkan si anak. Hanya saja, sambungnya, seringkali yang terjadi ayah dan ibu tak kompakan.

Padahal dengan kompak, maka ada tugas yang seimbang antara kedua orang tua, sehingga anak pun bisa mencar ilmu untuk kehidupannya. "Kalau anak cukup mendapat kasih sayang dari kedua orang tuanya, lingkungannya juga baik dan benar secara seimbang, maka anak pun bisa mencar ilmu dari situ."

Selain itu, dalam hal disiplin pun anak jadi tak bingung, nilai mana yang mau dipilih, alasannya si orang bau tanah kompak. "Kalau anak bingung, alhasil anakanak menyerupai ini bisa jadi tidak percaya diri atau tak hirau sama sekali atau tak bisa disiplin." Bahkan bisa jadi, salah satu orang bau tanah bisa diremehkan. "Anak jadi tahu cara tricky untuk mencari situasi yang menyenangkannya. Misal, tidak boleh ayahnya, beliau pun lari ke ibunya. Kaprikornus beliau tidak mencar ilmu suatu nilai yang seharusnya beliau pelajari, tapi hanya mencari amannya saja."

Sumber:
Dedeh Kurniasih. Iman Dharma (nakita)
http://www.tabloidnakita.com/

Sumber https://www.centro.web.id/